Minggu, 20 April 2014

ALI BIN ABI THALIB (SAHABAT NABI YANG MENGETAHUI HARI KEMATIANNYA)

Quote:Original Posted By bolae 



Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi Suci Muhammad SAW. Beliau dibesarkan dan dididik langsung oleh Nabi Muhammad. Ali merupakan salah satu yang paling awal memeluk Islam. Berikut adalah maqtam, narasi detik-detik kematian Ali yang cemerlang:

Malam 19 Ramadhan
Kalangan sejarawan Islam mengatakan bahwa fragmen Kesyahidan Imam Ali menjadi indah dalam sejarah kemanusian karena dia telah mengetahui detail ceritanya dari jauh hari. Rasul sendiri yang mengabarkan bahwa Imam Ali bakal syahid karena sebuah pukulan pedang beracun di bulan Ramadhan. Tapi Imam Ali tak pernah sedikitpun menunjukkan tanda meminta penangguhan atau menunjukkan gelagat enggan menerima suratan tragis itu. Padahal, sekiranya mau, dia bisa mengubah cerita akhir hidupnya.

Toh orang tahu Ali pernah menahan terbenamnya matahari dengan sebaris doa. Orang pun tahu kalau Nabi Muhammad tidak akan menolak untuk membantu Ali untuk mendoakan agar Alloh menangguhkan kematiannya, sekiranya Imam Ali yang meminta.

Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat usianya masuk 63 tahun. Tapi Ali bukan sembarang lelaki. Dia menyambut kematiannya seperti pengantin yang menanti hari pernikahan. Inilah kisah kerinduan, kesyahduan, penantian kekasih demi menjumpai Sang Tambatan Hati, Alloh SWT.

PADA bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah itu, setiap hari Imam Ali mendatangi anaknya untuk berbuka dan sahur bersama. Terkadang beliau mampir di rumah Imam Hasan, kemudian besoknya mendatangi Imam Husein, di hari ketiga mendatangi putrinya Zainab, dan di hari keempat berbuka dan bersahur di rumah putrinya Ummu Kalsum.

Hari itu adalah Jumat yang cerah, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H. Di rumah Ummu Kaltsum di Kufah (Irak), Ali seperti merangkum sejarah dan perjuangan pahit getir para Nabi sejak Adam hingga Ibrahim di tanah Babilonia.

Pada malam 19 itu, Ummu Kalsum mendapat giliran berbuka bersama ayah tercintanya. Dia menyuguhkan menu berbuka dalam dua nampan, satu berisi roti kering dan lainnya berisi susu masam. Imam Ali menegurnya: “Bukankah kau sudah tahu bahwa aku selalu mengikuti putra pamanku Rasulullah yang tidak pernah makan sajian dalam dua nampan sepanjang hidupnya? Maka mohon angkatlah salah satunya. Barangsiapa yang makan dan minumnya enak di dunia ini maka perhitungannya akan lama kelak di hadapan Alloh… .”

Ummu Kulsum menuturkan bahwa malam itu Imam Ali makan sangat sedikit dari roti kering yang kusuguhkan dan memperbanyak ucapan hamdalah dalam tiap suapnya. Selesai makan sedikit, Imam segera bangkit untuk melaksanakan shalat yang lama. Imam terus dalam keadaan rukuk, sujud, bermunajat, berdoa yang khusyu, dan sering-sering keluar rumah untuk melihat langit. Sekali di antaranya dia berujar: “Ya, ya…inilah malam yang dijanjikan kekasihku Rasulullah.”

Di malam itu, Ali sempat tertidur sejenak dan terbangun cepat. Ummu Kaltsum, putri bungsu Fathimah Azzahra ‘alayhas-salam itu, lantas menuturkan apa yang terjadi di detik-detik yg paling mempesona dari kehidupan ksatria langit, kekasih Alloh dan Rasulullah ini sebagai berikut.

Ummu Kaltsum “Aku melihat ayahku shalat hingga tengah malam. Di serangkaian shalatnya, beliau sebentar-sebentar keluar rumah, menengok sejenak ke langit dan kembali lagi untuk shalat. Tangisannya lebih panjang dari biasanya. Rukuknya lebih lama, sujudnya lebih lama. Lantunan munajatnya pun lebih syahdu dari hari-hari biasanya.”

Narator : Imam Ali tenggelam dalam ibadah hingga menjelang subuh. Di sela-selanya, dia beberapa kali seperti berbicara pada dirinya sendiri: “Sepertinya inilah malam yang dijanjikan kekasihku, Rasulullah.” “Ya Alloh, Engkau tak pernah berbohong dan aku pun tidak akan mengkhianati-Mu. Inilah malam kematian yang Kau janjikan padaku.”

“Lailaha Illallah. Hukum sebab akibat senantiasa terjadi. Sebentar lagi ketetapan Alloh akan diputuskan.”

Narator: Ummu Kaltsum hanya bisa berurai air mata. Kakeknya (Rasulullah) Pernah mengatakan bahwa Ali akan Syahid dibunuh “saudara pembunuh onta suci Nabi Shaleh” pada Jumat terakhir bulan Ramadhan. Imam Ali dan semua keluarga dekat Nabi tahu persis siapa orangnya: Abdurrahman Ibnu Muljam.

Nama Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi. Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah2 perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid.

Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.”
Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”

Narator: Ali sadar tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum dikerjakan. Dia juga tahu kematian adalah sesuatu yang menyeramkan tapi perhatian pada Tuhan akan melenyapkan semua ketakutan apapun di alam ini.

Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit. Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam (yg akan membunuh Ali) tidur telungkup. Ali pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar. Yang disapa dan dinasehati diam membatu, tak kunjung beranjak.

Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”

Narator : Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, tersimpan pedang beracun (semoga Alloh mengutuknya). Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia.

Setelah azan subuh tanggal 19 Ramadhan berkumandang, Ali kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang menyingsing. Kemudian dengan suara parau, beliau mengucapkan selamat berpisah kepada fajar: Imam Ali ”Wahai Fajar.. sepanjang Hayat Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??

Narator : Di mihrab, Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam (pembunuh), seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya.

Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan. Imam Ali ;“Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah… Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.” Seiring dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar gelegar suara keras Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga semua warga berhamburan keluar rumah untuk menuju masjid jami Kufah.

Ummu Kalsum (putri Ali) yang mendengar suara itu dari rumah sontak menjerit lirih: “Waaah Abataaah, Waaah Aliyaah” (Oooh Ayahku, Ooooh Aliku). Yang pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya, Hasan.

Hasan menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi rangkaian shalatnya sambil duduk. Badannya menggigil. Setelah salam, dia mengusapkan tanah sujud ke dahinya yang merekah sembari mengucapkan firman Alloh dalam surat Thaha ayat 55: Imam Ali “Dari tanah, kalian Kami ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”

Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Hasan yang tak kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Hasan untuk mengimami jamaah shalat. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya. Seusia shalat, Hasan langsung kembali menengok ayahnya, didampingi Husein dan seluruh putra Ali yang lain.

Hasan: Duhai Ayahku, tak kuasa aku melihatmu begini…sungguh ini sangat menghancurkan hatiku. Berat sekali bagiku melihatmu seperti ini.

Imam Ali membuka matanya lalu berkata: Anakku Hasan…jangan bersedih. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan kegetiran apapun. Lihatlah itu, Kakekmu Muhammad Al-Musthafa, Nenekmu Khadijah Al-Kubra, Ibumu Fathimah Azzahra, dan para bidadari berjejer-jejer menyambut kedatangan ayahmu. Tegarlah dan riangkan hatimu.

Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam Ali pingsan dalam pelukan Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah. Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya demikian pula putra-putra Imam yang lain.

Derasnya airmata Hasan menyadarkan Imam Ali. Imam pun langsung bertanya: “Anakku Hasan, untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas keadaan ayahmu. Apakah kau bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan dibunuh dengan cara diracun dan adikmu Husein akan dibunuh dengan tebasan pedang. Lantas kalian semua akan menyusulku bersama kakek dan ibu kalian.”

Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak belakangan masuk membawa Ibnu Muljam (pembunuh Ali). Orang curiga dia lari menjauh dari mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru menuju masjid. Kematian telah mendekati Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi musibah itu tak merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan dagingnya. Dia melarang orang membalas pada Ibnu Muljam.

Imam Ali “Aku tahu engkau akan membunuhku…Pasti…Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Alloh adanya perubahan pada diri dan nasibmu.” Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. lalu Dia menangis.

Ibnu Muljam “Ya Amirul Mukminin, afa anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah masuk neraka)?” Ali menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Dia kehausan dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih dahulu……………….sedangkan Imam meminum sisanya………. Inilah minuman susu terakhirnya.

Imam Ali :”Wahai, putra-putra ‘Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak ingin melihat kalian menumpahkan darah kaum Muslimin sambil berteriak “Amirul Mukmini telah dibunuh!” Ingatlah, jangan membunuh dengan alasan kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tunggulah hingga aku mati oleh pukulannya ini. Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap anjing gila.

Malam 21
Pada malam 21 itu keluarga Nabi mengenakan busana hitam, karam dalam duka yang mendalam. Para malaikat dan segenap kekasih Alloh meleleh dalam pilu yang menyayat. Malam itu begitu panjang dan melelahkan. Waktu seolah membeku dalam kebisuan, menolak untuk menerima takdir perpisahan. Pedang kesesatan dan kebodohan menyempurnakan kegelapan malam itu dengan sebilah kenistaan yang bercampur kebencian.

Sementara di sudut lain dari bumi, gerombolan orang pandir, pengkhianat kemanusiaan, penyulut api neraka yang paling mengerikan, pembenci keluarga Nabi sedang berpesta pora. Saat racun kian merasuki sekujur tubuh suci Imam Ali, kerinduannya pada Alloh dan Rasul kian berkobar-kobar. Dia terlihat begitu pasrah, teduh, berparas pucat pasi, menerima nasib dalam kegairahan yang seutuhnya. Imam Ali menyambut perpisahan dengan dunia dalam rindu bercampur sedih, pilu bercampur riang, perasaan yang mengayun di antara perpisahan yang menyesakkan dan perjumpaan yang melegakan setelah perjalanan berliku yang menahun.

Manusia dan jin, binatang-binatang, burung-brung di angkasa, ikut merasakan kesedihan berpisah dengan Imam Ali yang senantiasa menjadi sumber kasih bagi mereka. Jibril berteriak keras memecah keheningan malam itu: “Ooooh, sungguh salah satu tiang petunjuk Alloh telah roboh… satu lagi seorang pemberi peringatan yang suci pergi dari dunia yang fana ini!

Diriwayatkan bahwa suatu kali ketika Rasulullah sedang berbicara tentang bulan Sya’ban yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang keunggulan bulan Ramadhan dan ketinggian nilai ibadah di dalamnya, kemudian Imam Ali berdiri di hadapannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah amalan paling baik di bulan Ramadhan?” Rasul menjawab, “Wahai Abul Hasan, sebaik-baik amal di bulan ini ialah berpantang dari hal-hal yang diharamkan Alloh.”

Tiba-tiba Rasul menangis…
Imam Ali bertanya lagi, “Apakah yang membuatmu menangis, Ya Rasulullah?” Baginda Nabi menjawab, “Aku menangis karena apa yang akan menimpamu di bulan itu. Sekarang aku seakan-akan menyaksikanmu menunaikan shalat untuk Tuhanmu manakala orang paling sial dari masa lalu dan masa kini, adik dari pembunuh onta Nabi Saleh, memedang dahimu hingga janggutmu memerah berlumuran darah.”

Lalu Imam Ali bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saat itu aku dalam keadaan selamat dalam urusan agamaku?” Rasulullah menjawab, “Tentu saat itu engkau berhasil dalam urusan agamamu.” Lantas Rasulullah melanjutkan, “Hai Ali, barangsiapa yang membunuhmu berarti dia telah membunuhku; dan barangsiapa yang membencimu berarti dia telah membenciku; dan barangsiapa yang mencacimu berarti dia telah mencaciku, karena engkau adalah bagian dari diriku, ruhmu dari ruhku dan tanah penciptaanmu dari tanah penciptaanku …

Hai Ali, engkau adalah washiku, ayah dari keturunanku, suami dari putriku dan khalifahku … Demi Dzat yang mengutusku sebagai Nabi dan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk, engkau adalah hujjah Alloh bagi segenap makhlukNya ….”

Di hari-hari menjelang wafatnya, Imam Ali sering memberi kabar kematiannya kepada khalayak dengan bahasa isyarat yang mudah dimengerti. Dia juga sempat berdoa meminta kepada Alloh dengan membuka tudung kepalanya sambil berujar, “Ya Alloh, aku telah jenuh dengan mereka dan mereka pun sudah jenuh padaku, aku telah bosan dengan mereka dan merekapun sudah bosan denganku … tidakkah sebaiknya ada perpisahan?


Dikabarkan pula bahwa pada bulan Ramadhan itu, Imam Ali melihat tanda paling jelas dari dekatnya jemputan ajal ketika bermimpi melihat Rasulullah sedang membersihkan tanah dari wajah Imam Ali dan bertutur, “Hai Ali, tiada lagi bebanmu. Kau telah menunaikan semua kewajiban.”

Muhammad ibn Abu Bakr: Aku menginap di rumah ayahku pada malam 21. Racun telah menjalar sampai ke ujung-ujung kakinya. Wajahnya semakin pucat. Pandangan matanya nyaris tertutup. Kami kemudian membaringkannya di ranjang. Beliau terus mengulang-ulangi wasiat-wasiatnya kepada kami dan bertakziah atas kepergiannya sendiri. Beliau pun terus menerus shalat dalam keadaan duduk.

Tidak lama kemudian Ummu Kulsum dan Zainab datang dalam keadaan menangis. Sambil bercucuran airmata Zainab berujar: “Ayah, duka kami terhadapmu pastilah panjang dan airmata kami tidak bakal berhenti.”

Mendengar suara Zainab, seluruh keluarga besar Imam Ali menangis. Suara keras ini kemudian membangunkan Imam. Setelah mengedarkan pandangan ke segenap arah, Imam menatap Zainab dan tak kuasa menahan airmata.

Para tabib yang berusaha menyebuhkannya sudah menyerah dan mengusulkan Imam meminum susu sebanyak mungkin. Air susu adalah makanan sekaligus minuman Imam Ali hingga syahadah beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar